Sejarah Masjid Lawang Kidul Palembang
Berdirinya
Masjid Kiai Marogan dalam sejarah tidak terlepas dari sejarah Kiai Marogan itu
sendiri, Sebagai pengusaha yang sukses Kiai Masagus Haji Abdul Hamid bin Mahmud
alias Kiai Marogan mendirikan Masjid di pertemuan antara Sungai Musi dan Sungai
Ogan yang dibangun kira–kira tahun 1871 M, dari segi arsitektur bangunan masjid
ini sama dengan Masjid Agung Palembang. Masjid ini bernama Masjid Jami’ Kiai
Haji Abdul Hamid bin Mahmud. Akan tetapi Masjid ini kemudian lebih dikenal
dengan sebutan Masjid Kiai Muara Ogan yakni Masjid yang didirikan oleh Kiai
yang bertempat tinggal di tepi Sungai Musi di Muara Sungai Ogan. Lama-kelamaan
penyebutan Muara Ogan berubah menjadi Marogan atau Merogan sehingga nama
Masagus Haji Abdul Hamid sering dipanggil Kiai Masagus Haji atau Kiai Marogan
dan Masjidnya populer dengan sebutan Masjid Muara Ogan. Nama Kiai Marogan
sekarang ini juga diabadikan sebagai nama jalan, mulali dari simpang empat
jembatan Musi II Kemang Agung sampai dengan simpang empat jembatan Kertapati 1
Ulu Palembang.
Pada mulanya masjid in digunakan
sebagai tempat sholat dan belajar mengaji serta belajar agama bagi para
keluarga dan masyarakat sekitar kampung Karang Berahi Kertapati, karena sebagai
ulama Masagus Haji Abdul Hamid mempunyai banyak murid, salah satu muridnya
sekaligus teman dekatnya yaitu Kiai Kemas Haji Abdurahman Delamat (Kiai Delamat
yang mendirikan masjid Al-Mahmudiyah Suro 32 Ilir Palembang). Kemudian masjid
yang semula milik pribadi Kiai Muara Ogan ini diwakafkan bersama dengan Masjid
Lawang Kidul 5 Ilir Palembang pada tanggal 6 Syawal 1310 H (23 April 1893 M).
Karena semakin lama jumlah anggota jamaah Masagus Haji Abdul Hamid semakin
bertambah maka masjid tersebut perlu ditingkatkan fungsinya sebagai tempat
sholat Jumat (Masjid Jami’).
Tidak ditemukan catatan yang pasti
kapan masjid ini menjadi masjid Jami’. Ada dugaan menyatakan bahwa sholat Jumat
baru dilakukan setelah persetujuan Raad Agama terhadap wakaf tersebut. Sedang
dugaan lain menegaskan bahwa masjid tersebut telah digunakan untuk sholat Jumat
tidak lama setelah dibangun. Dugaan pertama didasarkan atas anggapan bahwa
Masjid Muara Ogan diwakafkan secara bersama dengan Masjid Lawang Kidul dan
sholat Jumat baru dipersoalkan setelah adanya persetujuan tersebut. Sementara
dugaan kedua didasarkan atas letaknya yang cukup jauh sehingga tidak banyak
berpengaruh terhadap jamaah Masjid Agung. Hingga sekarang masjid ini masih
dipergunakan sebagai tempat ibadah atau tempat kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya.
Menurut sejarah dari orang tua-tua
antara lain Almarhum Masagus Haji Abdul Karim Dung (manatan Ketua Yayasan
Masjid Kiai Muara Ogan), bahwa pada mulanya tanah milik Kiai Muara Ogan yang
diatas tanah tersebut dibangun masjid Muara Ogan adalah jauh lebih luas dari
pada yang ada sekarang, yaitu sebelah Barat berbatasan dengan Sungai Musi,
sebelah Timur sampai belakang pasar Kertapati, sebelah Utara berbatas dengan
Sungai Ogan dan sebelah Selatan sampai ke Sungai Gelam (Keramasan). Hal in
dapat dibuktikan sebagai contoh bahwa tanah “Pulau Kemaro” selama ini banyak
yang menganggapnya sebagai tanah Tak Bertuan alias Tanah Negara padahal
sesungguhnya adalah milik Kiai Muara Ogan, yang dapat dibuktikan kebenanrannya.
Sebagai salah satu warisannya,
Masjid Lawang Kidul hingga kini masih menampakkan kekukuhan dan kemegahan
perkembangan Islam di kota ini. Hingga sekarang, masjid yang bangunan induknya
memiliki luas lantai lebih kurang 20 X 20 meter itu, sebagian besar masih asli.
Namun, terdapat bangunan tambahan sehingga luasnya saat ini menjadi 40 X 41
meter. Pemugaran dilaksanakan pada 1983-1987 lalu. Meskipun sebagian besar
materialnya asli, ada beberapa bagian yang terpaksa diganti. Bagian yang
diganti itu, terutama bagian atapnya yang semula genting belah bambu. Karena
genting jenis itu tidak ada lagi, diganti dengan genting kodok.
Konon,
material bangunan itu terdiri atas campuran kapur, telur, dan pasir. Sedangkan
bahan kayunya tiang, pintu, atap, dan bagian penunjang lainnya? terbuat dari
kayu unglen. Interior mesjid, juga masih menampakkan keaslian. Empat saka guru
memilik ketinggian delapan meter dengan 12 pilar pendamping setinggi lebih
kurang enam meter. Kesemua tiang bersudut delapan. Empat alang (penyangga) atap
sepanjang 20 meter juga terbuat dari unglen tanpa sambungan.
Sejak berdirinya hingga sekarang
masjid Kiai Muara Ogan pernah mengalami beberapa kali percobaan penggusuran,
hal ini disebabkan karena letaknya yang setrategis sebagai contoh pada tahun
1911 Perusahaan Kareta Api ZSS (Zuit Spoor Sumatera) milik Pemerintah Hindia
Belanda melakukan perluasan stasiun kereta api, akibatnya tanah milik Kiai
Muara Ogan diambil dan tinggal yang ada sekarang seluas 12.586 meter bujur
sangkar diatas tanah in beridir bangunan sebuah masjid, 3 (tiga) buah sekolah,
makam Kiai Muara Ogan dan zuriatnya dan beberapa rumah zuriat Kiai Muara Ogan.
Selain dari tanah komplek Masjid Kiai Muara Ogan tersebut tanah dikuasai oleh
PT. Kereta Api.
Pada masa pendudukan Jepang,
dilakukan pendalaman Sungai Musi di depan masjid Kiai Muara Ogan untuk
keperluan pengambilan bahan batu bara dari pusat pembagiannya di komplek TABA
Keretaapi dengan menggunakan kapal-kapal besar. Akibatnya tanah yang berada
dipinggiran sungai yang berbatasan dengan masjid, sejak tahun 1943 sampai 1980
mengalami erosi terus menerus baik oleh hempasan sungai maupun akibat curah
hujan, sehingga tanah di depan masjid tersebut hanya tinggal 2 (dua) meter dari
mihrab (Pengimaman).
Untuk mengatasi tanah longsor
tersebut dimintakjan bantuan kepada masyarakat maupun pihak tertentu. Pada
tahun 1969 dibentuklah sebuah Yayasan dengan nama Yayasan masjid Kiai Muara
Ogan dengan susunan pengrurus anatar lain Ketua Masagus Haji Abdul karim Dung,
Wakil Ketua Ustadz Muhammad Jakfar, Sekretaris Masagus Ibrahim Rahman dan Bendahara
Masagus haji Umar Usaman.
Pengurus yaysan mengajukan
permohonan kepada pemerintah untuk mengatasi tanah longsor tersebut dan
Alahamdulillah pada tahun 1980 Bapak Presiden Soeharto memberikan bantuan
sebesar Rp 10 juta yang diberikan secara bertahap. Secara perlahan tapi pasti
bahaya longsor dapat ditanggulangi. Sekitar tahun 1950 masjid Kiai Muara Ogan
mengadakan renovasi yaitu Mustaka atau Limas teratas yang berbentuk segi empat
diganti dengan Kubah bulat terbuat dari seng, bagian depan diperluas dan dak
cor beton, dengan biaya sumbangan dari para dermawan kota Palembang dan
sekitarnya. Juga ada bantuan dari Walikota palembang pada waktu itu yaitu
H.Abdul Kadir berupa semen.
Masjid Kiai Muara Ogan yang dibangun
pada tahun 1871 M, lalu di renovasi pada tahun 1950 M. Kemudian direnovasi lagi
secara besar-besaran pada tahun 1989 yaitu dengan meninggikan plafonnya, kubah
bulat yang terbuat dari seng diganti dengan Mustaka Limas dikembalikan seperti
semula, lantainya diganti dengan keramik, pintu-pintu dan jendela diganti
dengan yang baru, dengan tidak merubah unsurnya yang asli. Renovasi ini menelan
biaya lebih kurang Rp 325 juta yang ditanggung sendniri oleh seorang pengusaha
kayu asal Palembang yaitu Bapak Kemas Haji Abdul Halim bin Kemas Haji Ali, yang
diresmikan pemakaiannya oleh Menteri Kehutanan Republik Indonesia pada waktu
itu yaitu Bapak Ir.H.Hasyrul Harahap.
Sejak direnovasi pad atahun 1989
hingga saat ini belum mengalami renovasi lagi. Namun akhir-akhir ini plafon
bagian utama masjid yang terbuat dari kayu (tidak ikut direnovasi pada tahun
1989 karena merupakan salah satu unsur yang asli sejak didirikannya) sudah
mulai banyak yang bocor apabila hujan turun. Untuk memperbaiki plafon yang
bocor ini, pengurus masjid atas persetujuan zuriat Kiai Muara Ogan telah
mengajukan permohonan kepada Bapak Kemas Haji Abdul Halim Ali untuk membiayai
renovasi plafon tersebut dan Alhamdulillah beliau bersedia dan tinggal menunggu
realisasinya, termasuk juga memugar makam pendiri masjid tersebut yaitu Kiai
Masagus Haji Abdul Hamid bin Mahmud alias Kiai Marogan. Masjid ini pada waktu
dibangun berukuran panjang 25 meter dan lebar 20 meter, setelah mengalami
renovasi sekarang menjadi lebih kurang panjang 50 meter dan lebar 40 meter
sehingga dapat menampung jamaah kira-kira 1500 orang bila Hari Raya Idul Fitri
atau Idul Adha, bisa juga mencapai dua kali lipat jamaah apabila termasuk di
halaman masjid.
Saat ini susunan pengurus inti
Yayasan Masjid Kiai Muara Ogan yang tercantum dalam Akte Notaris Aminus Nomor 8
tanggal 5 November 1969 semuanya sudah meninggal dunia yaitu ketua, wakil
ketua, sekretaris dan bendahara 4 (empat) orang. Akte Yayasan tersebut
diperbaharui melalui Notaris Iskandar Usman SH, M.Kn, Nomor 1 tanggal 23
Februari 2005 dengan susunan pengurus inti yaitu Ketua Masagus Usman Ahmad,
Wakil Ketua Masagus Alwi Abdussatar, Sekretaris Masagus Haji Memet Ahmad, SE,
Bendahara Masagus Haji Husni Nasir, Wakil Bendahara Arifin Ahmad dan Penasehat
Drs. Haji Syamsuddin Mansyur Akil.
Pada saat ini hanya ada 3 (tiga)
Yayasan Resmi (Legal) yang bernaung dibawah nama Kiai Muara Ogan selain ini
tidak ada. Yayasan-yayasan itu antara lain :
1. Yayasan Masjid Kiai Muara Ogan
2. Yayasan Mujahidin Masjid Lawang
Kidul
3. Yayasan Pengurus Islam Ummul Quro
Al-Hamidiyah Kiai Muara Ogan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar